
Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, sebuah sekolah kecil berbahan papan kayu berdiri dengan penuh makna. Hanya dua guru yang setia mengajar di Sekolah Alternatif untuk Anak Jalanan (SAAJa), memberikan pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu melalui cerita dan dongeng—bukan sekadar teori kaku di kelas.
Di sini, pembelajaran tak melulu soal buku tebal atau papan tulis. Dongeng, cerita, dan tawa menjadi pintu masuk untuk membuka imajinasi dan mimpi anak-anak. Christina Induyanti, atau yang akrab disapa Iin (47), salah satu relawan, menjelaskan bahwa pengetahuan pertama kali diperkenalkan lewat kisah-kisah menarik.
Tujuannya sederhana: menciptakan kenyamanan dan menjadikan belajar sebagai aktivitas menyenangkan.
*”Awalnya, kami tidak memaksa mereka langsung belajar formal seperti memegang pensil atau menulis. Kami memperkenalkan buku lewat dongeng,”* ungkap Iin saat berbincang pada Sabtu (9/8/2025).
Awal Mula Berdiri
Bangunan SAAJa terbuat dari papan kayu kokoh, dihiasi warna-warni dan gambar hewan yang menambah semangat belajar. Tak jauh dari ruang kelas, terdapat area bermain untuk anak-anak.
Sekolah ini pertama kali hadir di Pengarengan, Jakarta Timur, pada tahun 2000. Farid Fakih, seorang aktivis, mendirikannya dengan nama Sekolah Rakyat Miskin (SRM). Awalnya, lembaga ini fokus pada pendistribusian bahan pangan di wilayah tersebut. Namun, keprihatinannya melihat anak jalanan yang tak mengenyam pendidikan mendorongnya untuk bertindak lebih jauh.
Farid mengajak relawan, termasuk Iin, untuk membantu memberikan pendidikan bagi anak-anak. Iin, yang masih aktif hingga kini, mengungkapkan bahwa Farid membayangkan masa depan suram jika anak-anak ini tidak diberi kesempatan belajar.
*”Pendidikan harus dimulai sejak usia dini, di masa golden age,”* tegas Iin.
Meski niatnya baik, upaya ini sempat ditolak warga. Keterbatasan ekonomi membuat orang tua lebih memprioritaskan kebutuhan harian. Bagi mereka, pendidikan belum bisa mengisi perut.
Namun, Iin dan kawan-kawan tak menyerah. Mereka mendekati warga dengan pendekatan fleksibel, seperti membuka kelas sore agar anak-anak yang bekerja tetap bisa belajar.
*”Kami yakinkan bahwa mereka bisa bekerja sekaligus belajar. Jadwalnya kami atur di sore hari,”* jelas Iin.
Kekuatan Dongeng
Metode bercerita masih menjadi andalan Iin di SAAJa cabang Setiabudi, Jakarta Selatan, yang berdiri sejak 2002. Sekolah ini dibuka untuk menjangkau lebih banyak anak jalanan di berbagai wilayah Jakarta.
*”Kami menarik minat mereka lewat cerita. Dari situ, baru kami kupas pelajarannya,”* kata Iin.
Lewat dongeng, Iin melihat anak-anak mulai betah di perpustakaan, meski belum lancar membaca. Mereka memegang buku sambil menunggu waktu belajar. Visi Iin sejalan dengan Farid: memastikan semua anak, termasuk dari keluarga prasejahtera, mendapat pendidikan layak sejak dini.
Kembali ke Jalan yang Sama
Setelah kepergian Farid, Iin sempat mencoba profesi lain. Namun, tekadnya untuk berkontribusi pada masyarakat membawanya kembali ke SAAJa.
*”Saya ingin hidup bermanfaat, dan saya punya waktu serta tenaga untuk dedikasikan di sini,”* ujarnya.
Kini, SAAJa Setiabudi dijalankan oleh Iin (sekaligus kepala sekolah dan guru TK A) serta Nunung (guru TK B). Selain kelas TK, setiap Sabtu mereka membuka bimbingan belajar (bimbel) untuk siswa SD, SMP, dan SMA, dengan relawan mahasiswa sebagai pengajar.
Program bimbel dimulai tahun 2015, awalnya fokus pada bahasa Inggris.
*”Kami sadar pentingnya bahasa Inggris, sementara tidak semua SD mengajarkannya,”* jelas Iin.
Kini, bimbel mencakup berbagai mata pelajaran, tergantung keahlian relawan yang terlibat.