
Pekan Menyusui Sedunia 2025 seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan, namun sebuah penelitian terbaru dari Health Collaborative Center (HCC) justru mengungkap fakta yang memprihatinkan. Studi berjudul *”Persepsi dan Dukungan pada Ibu Menyusui di Tempat Umum”* menemukan bahwa satu dari tiga orang Indonesia masih tidak mendukung praktik menyusui di ruang publik.
Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, peneliti utama sekaligus pendiri HCC, menjelaskan bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini cenderung menolak atau memiliki pandangan negatif terhadap ibu yang menyusui di tempat umum. Temuan ini disampaikan dalam acara di Restoran Beautika, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat (8/8/2025).
Profil Responden Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara daring dengan metode *social experiment* menggunakan pendekatan kuantitatif dan melibatkan 731 responden. Sebanyak 84% responden adalah perempuan, sementara 16% laki-laki. Dari total peserta, 33% berusia di bawah atau sama dengan 30 tahun, dan 67% berusia di atas 30 tahun. Mayoritas responden (89%) sudah menikah, dan 11% belum menikah.
Dari segi pendidikan, 60% responden memiliki latar belakang pendidikan di bawah SMA/sederajat, sedangkan 40% berpendidikan sarjana atau lebih. Mereka diminta memberikan tanggapan terhadap berbagai skenario ibu menyusui di tempat umum, seperti pabrik, perkantoran, taman, transportasi umum, restoran, dan kafe.
Stigma Negatif terhadap Ibu Menyusui
Ketidaknyamanan dan Keengganan
Berdasarkan data yang dipresentasikan oleh Ray dan peneliti HCC lainnya, Bunga Pelangi, MKM, 30% responden mengaku tidak nyaman melihat ibu menyusui di tempat umum. Sebanyak 29,7% bahkan merasa gelisah, sementara 50% sangat tidak setuju jika ibu menyusui tanpa penutup. Selain itu, 29% berpendapat bahwa menyusui seharusnya hanya dilakukan di ruang khusus, seperti ruang laktasi.
“Masalah ini bukan sekadar persoalan kenyamanan visual, melainkan hak dasar perempuan,” tegas Ray. Ia menambahkan, penolakan terhadap praktik menyusui di ruang publik menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya mendukung hak ibu dan anak secara sosial.
Taman Jadi Tempat Paling Banyak Ditolak
Bagi sebagian orang, melihat seorang ibu menyusui di taman mungkin dianggap sebagai momen alami dan indah. Namun, bagi mereka yang memiliki pandangan negatif, hal ini justru dianggap tidak pantas. Studi HCC mengungkap bahwa 34,6% responden menolak praktik menyusui di taman atau ruang terbuka.
Transportasi Umum dan Restoran Juga Masih Jadi Masalah
Tidak hanya di taman, penolakan juga terjadi di tempat-tempat lain. Sebanyak 33,8% responden tidak setuju dengan ibu yang menyusui di transportasi umum, seperti angkot, TransJakarta, pesawat, atau kereta. Sementara itu, 32,8% menolak praktik menyusui di kafe, dan 30,6% tidak mendukungnya di restoran.
Padahal, menyusui adalah kebutuhan dasar bayi, sama seperti makan bagi orang dewasa. ASI merupakan sumber nutrisi utama yang tidak bisa ditunda pemberiannya.
Tekanan untuk “Bersembunyi”
Ray menyoroti bahwa temuan ini menunjukkan masyarakat masih mendorong ibu untuk menyusui secara tersembunyi. Padahal, yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan lingkungan yang inklusif bagi para ibu.
“Kita butuh lebih dari sekadar ruang laktasi. Perubahan budaya sangat diperlukan,” tegasnya.
Peran Penting Dukungan Pasangan
Stigma negatif seringkali membuat ibu merasa malu, sedih, dan enggan menyusui di tempat umum, meski anak sedang lapar. Ekspresi tidak nyaman dari orang sekitar atau permintaan untuk menutupi payudara bisa memengaruhi psikologis ibu.
Namun, dukungan dari pasangan dan orang terdekat dapat menjadi faktor penting dalam menjaga semangat ibu. Studi ini memperkuat penelitian HCC sebelumnya yang menyatakan bahwa dukungan *inner circle* sangat berpengaruh pada keberhasilan menyusui.
Menyusui Harus Dinormalisasi
Ray menegaskan kembali bahwa menyusui adalah aktivitas alami, sehat, dan penuh perjuangan—bukan sesuatu yang memalukan.
“Jika kita gagal menormalkan menyusui di ruang publik, artinya kita gagal memahami esensi keadilan sosial dan kesehatan ibu-anak,” pungkasnya.