
Kepuasan Publik Terhadap JKN Tinggi, Namun Wacana KRIS Picu Pro Kontra
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus mendapat apresiasi dari masyarakat. Survei terbaru mengungkapkan bahwa 70% peserta merasa puas dengan layanan yang diberikan. Hanya sedikit yang belum pernah menggunakan fasilitas kesehatan melalui BPJS Kesehatan. Angka ini membuktikan bahwa program ini telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, bukan sekadar kebijakan pemerintah, melainkan pelindung nyata bagi keluarga saat menghadapi risiko kesehatan.
Kartu JKN telah menjadi simbol persatuan, menyatukan berbagai lapisan masyarakat—dari buruh hingga pegawai—dalam satu sistem gotong royong. Namun, di balik kepuasan ini, muncul wacana baru yang memicu perdebatan: penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
KRIS: Standar Baru atau Sumber Kebingungan?
KRIS sejatinya bertujuan mulia, yakni menetapkan standar minimal kualitas ruang rawat inap agar semua pasien, terlepas dari kelas kepesertaannya, mendapat pelayanan yang layak. Tujuannya, tidak ada lagi pasien yang harus dirawat di ruangan sempit tanpa privasi atau fasilitas dasar seperti oksigen.
Namun, implementasinya justru menimbulkan berbagai tafsir. Sebagian pihak menyatakan KRIS akan menghapus sistem kelas, sementara yang lain menegaskan kelas tetap ada, hanya dengan tambahan 12 kriteria dasar seperti jarak antar-tempat tidur, ketersediaan kamar mandi, dan suhu ruangan yang stabil.
Ketidakjelasan ini membuat peserta kelas III berharap kualitas layanan meningkat, sementara peserta kelas I khawatir fasilitas yang selama ini dinikmati akan hilang. Persoalan utamanya terletak pada definisi “standar”. Standar minimum seharusnya menjadi batas bawah yang wajib dipenuhi, bukan penghapusan pilihan layanan tambahan bagi yang mampu.
Tantangan Implementasi: Infrastruktur, Biaya, dan Digitalisasi
KRIS menghadapi sejumlah tantangan serius. Pertama, kesenjangan infrastruktur. Rumah sakit besar di kota-kota mungkin sudah memenuhi kriteria, tetapi banyak rumah sakit daerah masih jauh dari standar. Perpanjangan masa transisi hingga Desember 2025 adalah langkah realistis, tetapi tanpa peta jalan yang jelas, ini hanya akan menjadi penundaan belaka.
Kedua, masalah biaya. Renovasi ruangan, penyediaan peralatan, dan pelatihan tenaga medis membutuhkan dana besar. Tanpa dukungan pembiayaan yang proporsional, rumah sakit—terutama yang kecil—bisa mengurangi kapasitas layanan atau bahkan menolak pasien.
Ketiga, digitalisasi yang belum optimal. Meski dianggap sebagai solusi, antrean online belum memangkas waktu tunggu, dan rujukan elektronik seringkali tidak menjamin ketersediaan tempat di rumah sakit lanjutan. Bagi pasien di daerah dengan jaringan internet terbatas, digitalisasi justru menjadi beban tambahan.
Langkah yang Harus Diambil
Agar KRIS berjalan efektif, beberapa hal perlu segera dilakukan:
- Penjelasan yang Jelas: Pemerintah harus memberikan narasi tunggal tentang KRIS, termasuk contoh konkret perubahan yang akan terjadi.
- Prioritas Implementasi: Kriteria terkait keselamatan pasien harus dipenuhi terlebih dahulu, sementara aspek lain bisa menyusul.
- Pembiayaan yang Adil: Rumah sakit yang memenuhi standar perlu diberi insentif, sementara yang tertinggal harus dibantu, bukan dihukum.
- Prinsip “Zero Denial”: Tidak ada pasien darurat yang ditolak atau dipulangkan sebelum kondisi stabil.
- Digitalisasi yang Efektif: Aplikasi harus benar-benar mempermudah proses, bukan sekadar memindahkan antrean dari loket ke layar.
KRIS: Bukan Hanya Soal Kelas, Tapi Martabat
Pada akhirnya, KRIS bukan sekadar tentang standar ruang rawat inap, melainkan tentang martabat. Standar minimum yang konsisten adalah janji negara bahwa tidak ada warga yang dirawat di bawah kondisi tidak manusiawi. Standar yang baik tidak menurunkan kualitas, melainkan mengangkat yang tertinggal.
Jika dijalankan dengan transparansi, pembiayaan adil, dan komunikasi yang jelas, KRIS bisa menjadi tonggak pemerataan layanan kesehatan. Namun, jika salah langkah, kebijakan ini justru berpotensi merusak kepercayaan publik—fondasi utama dari sistem jaminan sosial.
Ketika seorang pasien pulih dan merasa terlindungi, di situlah kebijakan ini menemukan maknanya yang sebenarnya: bukan dalam aturan tertulis, tetapi dalam kehidupan yang kembali utuh.