
Mahkamah Konstitusi Tunda Sidang Uji Materi Soal Penyakit Kronis sebagai Disabilitas
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menunda sidang uji materi terkait pengakuan penyakit kronis sebagai bagian dari disabilitas. Perkara bernomor 130/PUU-XXIII/2025 ini dijadwalkan ulang karena pemerintah dan DPR belum siap memberikan keterangan. Sidang berikutnya akan digelar pada Selasa, 7 Oktober 2025, pukul 13.30 WIB, dengan agenda mendengarkan penjelasan dari kedua lembaga tersebut.
Permohonan dari Penyandang Penyakit Kronis
Dua orang dengan kondisi kesehatan kronis, Raisa Fatikha dan Deanda Dewindaru, menjadi pemohon dalam kasus ini. Mereka mengajukan permohonan pengujian terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), serta Penjelasan Pasal 4 ayat (1).
Menurut mereka, ketiadaan pengakuan eksplisit terhadap penyakit kronis sebagai disabilitas telah merugikan hak konstitusional mereka. Akibatnya, akses terhadap layanan publik yang seharusnya menjadi hak penyandang disabilitas menjadi terhambat.
Profil Pemohon dan Dampak Kondisi Kesehatan
Raisa Fatikha telah hidup dengan Thoracic Outlet Syndrome (TOS) selama satu dekade. Kondisi ini menyebabkan nyeri berkepanjangan di tangan, bahu, dan dada kanan, yang seringkali membatasi gerak dan mobilitasnya. Meski demikian, ia aktif menyebarkan edukasi melalui platform Ragam Wajah Lara.
Sementara itu, Deanda Dewindaru berjuang melawan tiga penyakit autoimun sekaligus: Guillain-Barré Syndrome, Sjögren’s Disease, dan Inflammatory Bowel Disease. Kelelahan kronis dan flare-up kerap menghambat aktivitasnya. Lewat Spoonie Story, Deanda berbagi pengetahuan tentang kehidupan dengan penyakit langka.
Argumen Kuasa Hukum Pemohon
Dalam sidang pendahuluan pada 13 Agustus 2025, kuasa hukum pemohon, Reza, menjelaskan bahwa ketiadaan pengakuan formal terhadap penyakit kronis sebagai disabilitas menyulitkan proses advokasi. “Tanpa pengakuan ini, pemohon harus menjelaskan kondisi mereka secara detail setiap kali mengakses layanan publik. Jika diakui, prosesnya akan lebih mudah,” ujarnya.
Pemohon menekankan bahwa kerugian yang dialami bersifat nyata, terutama dalam hal pemenuhan hak-hak dasar. Mereka berharap MK dapat memasukkan penyakit kronis sebagai salah satu kategori disabilitas dalam undang-undang yang berlaku.