
Sidang Jiwasraya: Hakim Soroti Keuntungan Semu dan Bunga Tak Wajar
Dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan investasi PT Asuransi Jiwasraya (AJS) periode 2008–2018, hakim mengungkap fakta mengejutkan terkait pencatatan keuangan perusahaan. Ketua Majelis Hakim, Sunoto, mengajukan pertanyaan kritis kepada Iswardi, anggota Tim Likuidasi PT AJS, yang hadir sebagai saksi. Fokus pemeriksaan adalah laporan keuangan Jiwasraya yang dinilai mencatat keuntungan semu melalui manipulasi cadangan premi.
Keuntungan Semu dalam Laporan Keuangan
Sunoto mengutip berita acara pemeriksaan (BAP) yang menyebutkan, Jiwasraya pada 2009 hanya memanipulasi pencatatan cadangan premi sehingga laporan keuangan terlihat untung. Padahal, keuntungan tersebut bersifat semu dan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Iswardi membenarkan pernyataan hakim dengan jawaban singkat, “Iya.”
Hakim kemudian memperdalam pertanyaan terkait besaran bunga dividen yang dicatat Jiwasraya. Menurut Iswardi, perusahaan mencatat biaya bunga dividen hingga Rp 50 miliar. Angka ini mencurigakan karena produk saving plan Jiwasraya menjanjikan bunga 9–11%, jauh lebih tinggi dari bunga bank saat itu yang hanya 6–7%.
Bunga Tinggi dan Dampaknya pada Negara
“Jika bunga bank normal hanya 6–7%, mengapa Jiwasraya berani menawarkan 9–11%? Berapa kerugian negara akibat selisih bunga ini?” tanya Sunoto. Iswardi mengaku tidak memiliki data pasti, namun ia mengaitkannya dengan kasus sebelumnya yang merugikan negara Rp 16,81 triliun.
Ia menduga, pendapatan Jiwasraya tidak diinvestasikan secara wajar, melainkan masuk ke pihak tertentu seperti Benny Tjokrosaputro dan terpidana lainnya. Namun, hakim tidak puas dengan jawaban tersebut dan kembali menekankan pertanyaan mendasar: “Posisi Jiwasraya untung atau buntung?” Iswardi hanya diam, lalu menjelaskan bahwa perusahaan beroperasi secara *going concern* dengan menjual produk saving plan untuk memperoleh premi besar.
Peran Isa Rachmatarwata dan Kerugian Negara
Isa Rachmatarwata, terdakwa sekaligus mantan Dirjen Anggaran Kemenkeu, didakwa menyebabkan kerugian negara Rp 90 miliar. Uang ini dibayarkan kepada dua perusahaan reasuransi asing—Provident Capital Indemnity (Rp 50 miliar) dan Best Meridien Insurance Company (Rp 40 miliar)—untuk membuat laporan keuangan Jiwasraya terlihat sehat. Padahal, transaksi ini hanya formalitas tanpa substansi ekonomi, karena risiko bisnis tetap ditanggung Jiwasraya.
Isa juga menyetujui produk saving plan berbunga tinggi yang justru membebani perusahaan. Hingga 31 Desember 2019, utang dari produk ini mencapai Rp 12,2 triliun. Jaksa menegaskan, kasus ini terkait dengan korupsi Jiwasraya yang melibatkan Benny Tjokrosaputro, di mana investasi reksadana gagal menghasilkan keuntungan dan merugikan negara Rp 16,8 triliun.
Isa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP. Sidang terus berlanjut untuk mengungkap lebih dalam praktik manipulasi keuangan Jiwasraya.