Di bawah naungan flyover Jalan Arif Rahman Hakim, Depok, sebuah transformasi tak terduga terjadi. Kawasan yang semula hanya berfungsi sebagai jalur penghubung antara Stasiun Depok Baru dan Pasar Kemiri, kini berubah menjadi pasar darurat yang ramai dikunjungi. Meski dipasangi papan larangan berjualan dan dihiasi jalan rusak serta genangan air, puluhan pedagang tetap bertahan, mengais rezeki di tengah segala keterbatasan.
Masalah yang Menggerogoti Kawasan
Permasalahan di area ini ibarat lingkaran setan yang sulit diputus:
- Infrastruktur yang memprihatinkan: Jalan berlubang, drainase macet, dan banjir rutin ketika hujan datang.
- Sampah menumpuk: Minimnya tempat pembuangan dan pengelolaan kebersihan membuat limbah berserakan di mana-mana.
- Status lahan ambigu: Tumpang tindih kewenangan antar-instansi menghambat penataan ruang.
- Anggaran terbatas: Koordinasi yang lemah antar-pemangku kebijakan memperparah situasi.
Suara Pedagang dan Warga
Wawan, salah seorang pedagang, mengungkapkan bahwa ia tak punya opsi lain selain berjualan di lokasi tersebut. “Sudah melapor ke kelurahan, tapi belum ada tindakan,” ujarnya. Keluhan serupa datang dari sopir angkot dan warga yang kerap kesulitan melintas akibat kondisi jalan yang buruk.
Respons Pemerintah
DLHK mengklaim telah menyediakan tempat sampah dan jadwal pengangkutan rutin. Namun, rendahnya kesadaran masyarakat dinilai sebagai penghalang utama. Sementara itu, pakar tata kota menekankan pentingnya kolaborasi lintas lembaga, termasuk keterlibatan pemerintah pusat, untuk menata kawasan secara menyeluruh.
Di balik hiruk-pikuk aktivitas ekonomi, kawasan bawah flyover ini menjadi cermin ketimpangan: semangat warga yang tak padam berhadapan dengan infrastruktur yang terabaikan. Harapan akan solusi nyata dari pemerintah terus menggelora, agar ruang ini tak sekadar jadi tempat bertahan, tapi juga tumbuh sebagai bagian kota yang layak.







