
JAKARTA, KOMPAS.com – Sebuah kasus eksploitasi seksual terhadap remaja 15 tahun berinisial SHM di sebuah bar karaoke Jakarta Barat menguak modus pelaku yang memanfaatkan media sosial untuk menjerat korban di bawah umur. Mereka menipu dengan tawaran pekerjaan palsu, lalu memaksa korban terlibat dalam tindakan asusila berbayar.
Fakta ini membeberkan bahwa meski Jakarta telah dinobatkan sebagai Kota Layak Anak, ancaman terhadap keselamatan anak masih mengintai, terutama di tengah maraknya perekrutan online dan minimnya pengawasan di dunia hiburan malam.
Jejak Kejahatan: Dari Media Sosial ke Dunia Gelap
Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, kasus ini berawal ketika SHM mendapat tawaran pekerjaan sebagai *lady companion* (LC) melalui Facebook dengan imbalan Rp 125.000 per jam.
Pelaku membujuk korban dengan dalih pekerjaan hanya sebagai pendamping bernyanyi. Namun, begitu tiba di Bar Starmoon, SHM justru dipaksa melayani pelanggan dengan bayaran Rp 175.000–Rp 225.000 per tamu.
Polisi telah menetapkan 10 tersangka, termasuk perekrut, penampung, *mami* (marketing bar), pengantar korban, hingga pemilik bar. Dua lainnya masih dalam daftar buron.
Barang bukti yang diamankan meliputi dokumen identitas korban, ponsel, buku absen LC, catatan keuangan bar, dan hasil visum.
Para pelaku dijerat dengan pasal berlapis dari UU Perlindungan Anak, UU TPKS, hingga UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
Tanggapan Pemprov DKI: Perlindungan Anak Bukan Hanya Tanggung Jawab Pemerintah
Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno menegaskan bahwa predikat Kota Layak Anak tidak berarti pemerintah bisa mengawasi setiap anak secara individual.
Status tersebut lebih merujuk pada ketersediaan sistem perlindungan, seperti Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) sebagai sarana edukasi dan rekreasi.
*”Jakarta dihuni 11 juta orang. Aman 100 persen? Belum tentu. Peran orang tua tetap krusial dalam menjaga anak-anak,”* ujar Rano di Balai Kota (11/8/2025).
KPAI: Harus Ada Investigasi Mendalam untuk Temukan Korban Lainnya
Ketua KPAI Ai Maryati meyakini kasus SHM bukanlah yang pertama. Ia mendesak penyelidikan menyeluruh mengingat Jakarta sebagai pusat hiburan malam rentan mempekerjakan anak di bawah umur.
*”Mempekerjakan anak dalam situasi terburuk jelas kejahatan. Jika tidak dituntaskan, akan muncul pembenaran bahwa anak ‘rela bekerja’, padahal seharusnya dicegah,”* tegasnya.
Kasus ini mengingatkan bahwa perlindungan anak tidak hanya bergantung pada infrastruktur atau gelar kota, melainkan juga pengawasan aktif dari keluarga, masyarakat, dan penegak hukum.
Langkah tegas dalam penindakan, pengawasan perekrutan online, serta penutupan celah hukum menjadi kunci agar tragedi serupa tidak terulang.