
Seorang Putri Berprestasi dan Tantangan di Balik Kesuksesan
Seorang teman saya memiliki anak perempuan yang luar biasa: juara kelas, atlet basket berbakat, dan aktif berorganisasi di sekolah. Gurunya pun mengakui, ia adalah kebanggaan sekolah berkat segudang prestasinya. Namun, di balik semua pencapaian itu, sang ibu justru diliputi kekhawatiran—apakah putrinya siap menghadapi kegagalan? Bisakah ia bangkit dengan cepat atau justru terpuruk saat menghadapi tantangan?
Penelitian menunjukkan bahwa kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan akademis (IQ), tetapi juga oleh kekuatan mental. Singapura pernah mengadopsi budaya *kiasu*, sebuah mentalitas gigih yang berfokus pada kerja keras, pantang menyerah, dan efisiensi. Namun, seiring waktu, pemerintah menyadari dampak negatifnya: masyarakat menjadi terlalu kompetitif, individualistis, dan enggan berkolaborasi.
Merespons hal ini, Singapura melakukan perubahan besar, seperti menghapus sistem ranking di sekolah, mendorong *joy of learning*, serta menggalakkan program kewirausahaan dan kepedulian sosial melalui kampanye seperti SG Cares. Tujuannya jelas: menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga tangguh dan peduli.
Thrivers: Lebih dari Sekadar Prestasi Akademis
Psikolog pendidikan Michele Borba memperkenalkan konsep *thrivers* dalam bukunya, Thrivers: The Surprising Reasons Why Some Kids Struggle and Others Shine. Istilah ini merujuk pada anak-anak yang tidak hanya bertahan di bawah tekanan, tetapi juga berkembang menjadi pribadi yang utuh, sehat secara emosional, dan bermakna.
Berbeda dengan *strivers* yang terus-menerus berusaha membuktikan diri, *thrivers* tumbuh dengan pemahaman, rasa ingin tahu, dan kemampuan memberi makna pada setiap langkahnya. Misalnya, ada dua tipe siswa: satu selalu dapat nilai sempurna dan aktif di berbagai lomba, tetapi sering cemas dan sulit tidur. Sementara yang lain mungkin tidak menonjol secara akademis, namun memiliki empati tinggi, suka menolong, dan tetap tenang saat menghadapi kegagalan.
Karakter Thrivers yang Membentuk Masa Depan
Kualitas seorang *thriver* tidak selalu terlihat di rapor, tetapi sangat penting untuk kesuksesan jangka panjang. Mereka tumbuh dengan:
– Percaya diri – Berani mencoba hal baru meski belum pasti berhasil.
– Empati – Peka terhadap perasaan orang lain dan lebih peduli.
– Pengendalian emosi – Tidak mudah marah saat menghadapi penolakan.
– Integritas – Berani membela kebenaran meski berbeda dengan mayoritas.
– Ketekunan dan optimisme – Tetap melihat peluang di tengah kesulitan.
Cara Membentuk Anak Menjadi Thrivers
Membesarkan anak yang tangguh tidak memerlukan metode rumit. Hal sederhana seperti:
– Mendengarkan tanpa menyela – Biarkan mereka bercerita tanpa dihakimi.
– Memuji usaha, bukan hanya hasil – Misalnya, “Aku bangga kamu berusaha keras!”
– Memberi ruang untuk bertanya – Tanpa takut dianggap “bodoh”.
– Tidak menuntut kesempurnaan – Dorong keberanian mencoba lagi setelah gagal.
Percakapan sehari-hari juga bisa menjadi sarana pembelajaran. Misalnya:
– “Apa hal baik yang kamu lakukan hari ini?” – Melatih refleksi diri.
– “Apa yang bisa kamu perbaiki?” – Saat gagal, ajak mereka mencari solusi.
– “Bagaimana perasaan temanmu?” – Mengasah empati saat ada konflik.
Thrivers di Era Media Sosial
Di zaman di mana nilai diri sering diukur dari *likes* dan *views*, anak-anak mudah terjebak dalam tekanan untuk selalu “cukup hebat”. *Thrivers* hadir sebagai penyeimbang—mereka tidak bergantung pada validasi orang lain. Mereka paham bahwa kegagalan adalah bagian dari proses dan menjadi diri sendiri lebih penting daripada sekadar terlihat sempurna.
Contoh nyata adalah Malala Yousafzai, yang tetap berjuang untuk pendidikan meski menghadapi ancaman. Atau Butet Manurung dengan Sokola Rimba-nya, yang membangun pendidikan berbasis kearifan lokal tanpa terpengaruh penilaian luar.
Dampak Thrivers bagi Lingkungan Sekitar
Seorang *thriver* tidak hanya menguntungkan dirinya sendiri, tetapi juga orang lain. Anak yang tenang dalam tekanan bisa menenangkan teman-temannya. Mereka yang berani bersikap adil mendorong lingkungan untuk lebih jujur. Kebaikan kecil mereka menciptakan ruang inklusif di mana semua orang merasa diterima.
Membesarkan *thrivers* adalah investasi jangka panjang—tidak hanya untuk kesuksesan individu, tetapi juga untuk menciptakan masyarakat yang lebih tangguh, empatik, dan kolaboratif di masa depan.