Keselamatan di Pelintasan Kereta Api: Antara Regulasi dan Kesadaran Pengguna Jalan
Kecelakaan di perlintasan kereta api masih menjadi momok di Indonesia. Tingginya angka kejadian dan dampak fatal yang ditimbulkan membuat isu ini terus menjadi sorotan. Salah satu titik rawan adalah perlintasan sebidang antara jalan raya dan rel kereta, di mana konflik antara kebutuhan masyarakat dan tanggung jawab infrastruktur sering kali memicu perdebatan.
Persoalan Fasilitas dan Kewenangan
Di satu sisi, pihak operator kereta api menyatakan bahwa pemasangan palang pintu bukanlah tanggung jawab mereka. Sementara itu, pemerintah daerah menekankan pentingnya fasilitas tersebut untuk melindungi masyarakat. Perbedaan pandangan ini kerap menyulitkan upaya penanganan perlintasan yang minim pengamanan.
Aturan yang Berlaku
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) telah mengatur secara jelas kewajiban pengendara saat melintasi rel kereta api:
- Setiap pengemudi wajib berhenti dan mendahulukan kereta api.
- Jika sinyal berbunyi atau palang pintu tertutup, kendaraan tidak boleh memaksakan diri melintas.
- Pelanggar Pasal 114 UU LLAJ bisa dikenai sanksi pidana kurungan hingga 3 bulan atau denda maksimal Rp 750.000.
Tak hanya itu, Peraturan Dirjen Perhubungan Darat No. SK.047/AJ.401/DRJD/2018 juga mengingatkan pengendara untuk berhenti sejenak, menengok ke kiri dan kanan, sebelum melintasi rel.
Peran Aktif Pengguna Jalan
Meski fasilitas pelintasan kadang tidak memadai, keselamatan tetaplah tanggung jawab bersama. Pengemudi harus selalu waspada, menjaga jarak aman, dan tidak mengambil risiko nekat melintas saat kereta api mendekat. Dengan demikian, upaya mengurangi kecelakaan tidak hanya bergantung pada infrastruktur, tetapi juga pada kedisiplinan dan kepatuhan terhadap aturan.







