
Pernikahan: Antara Tuntutan Sosial dan Kesiapan Diri
Bagi banyak orang, menikah masih dianggap sebagai salah satu pencapaian hidup yang penting. Tak heran, keluarga dan lingkungan kerap memberikan tekanan agar seseorang segera menikah begitu mencapai usia tertentu. Namun, tekanan ini justru bisa memicu stres, terutama di tengah tuntutan zaman yang semakin kompleks.
Perbedaan Tuntutan Menikah Dulu dan Sekarang
Menurut Yustinus Joko Dwi Nugroho, M.Psi., psikolog klinis dari RS DR Oen Solo Baru, tekanan menikah di masa lalu dan masa kini memiliki perbedaan signifikan. Jika dulu pernikahan sering dipandang sebagai langkah alami dalam hidup, kini banyak orang merasa harus mencapai kondisi “mapan” terlebih dahulu sebelum memutuskan menikah.
Mengapa Banyak Orang Takut Menikah?
Harus Mapan dan Punya Segalanya
Saat ini, banyak orang berpikir bahwa mereka harus memiliki segalanya—finansial stabil, karier sukses, dan aset memadai—sebelum menikah. Joko menjelaskan bahwa pemikiran ini dipengaruhi oleh teori hierarki kebutuhan Maslow, di mana aktualisasi diri menjadi kebutuhan tertinggi.
“Orang sering merasa belum cukup, meski sudah memiliki banyak hal. Misalnya, sudah punya smartphone bagus, tapi tetap ingin membeli yang lebih canggih karena fiturnya menarik,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa standar “mapan” sebenarnya tidak pernah benar-benar tercapai jika terus mengikuti tuntutan sosial. Akibatnya, banyak orang merasa belum siap menikah meski usia terus bertambah, sementara tekanan dari keluarga dan lingkungan semakin besar.
Ekspektasi Kesiapan yang Tidak Realistis
Menikah berarti memulai kehidupan baru, yang tentu membutuhkan kesiapan finansial, mental, dan emosional. Namun, Joko menegaskan bahwa tidak ada yang benar-benar siap 100% sebelum menikah.
“Banyak orang terjebak dalam pola pikir bahwa mereka harus punya uang sekian atau karir tertentu sebelum menikah. Padahal, kesiapan itu dibangun perlahan, bukan instan,” jelasnya.
Di tengah tantangan ekonomi saat ini, banyak orang lebih fokus bertahan hidup atau mengumpulkan uang, sehingga pernikahan seringkali bukan prioritas. Sayangnya, tekanan dari lingkungan justru bisa memperburuk situasi, membuat seseorang semakin stres dan menghindar.
Pentingnya Saling Memahami Antara Orangtua dan Anak
Tekanan untuk menikah seringkali datang dari orangtua atau lingkungan sekitar. Joko menekankan pentingnya komunikasi dua arah agar kedua pihak saling memahami.
“Anak perlu mengerti keinginan orangtua, misalnya harapan memiliki cucu. Di sisi lain, orangtua juga harus paham jika anak belum siap menikah,” ucapnya.
Dengan dialog terbuka, keluarga bisa menemukan solusi bersama tanpa harus memaksakan kehendak. Jika tidak dikelola dengan baik, tekanan menikah justru bisa menimbulkan resistensi—seseorang mungkin akan semakin menjauhi topik pernikahan atau melihatnya sebagai beban.
Menghadapi Ketakutan Menikah
Kunci utamanya adalah menyadari bahwa pernikahan bukan sekadar kewajiban, melainkan pilihan hidup yang harus diambil dengan kesiapan dan kesadaran penuh. Dengan mengurangi tekanan dan meningkatkan pemahaman, baik individu maupun keluarga dapat menghadapi fase ini dengan lebih bijak.