Tradisi Nadran: Syukur Nelayan yang Menyimpan Pesan Lingkungan
Di tengah debur ombak dan bau garam laut, masyarakat nelayan di pesisir utara seperti Muara Angke, Jakarta, menjaga sebuah tradisi bernama Nadran. Ritual turun-temurun ini bukan sekadar acara seremonial, melainkan wujud rasa syukur atas rezeki yang diberikan oleh laut.
Makna dan Prosesi Nadran
Nadran diwarnai dengan prosesi melarungkan sesaji ke laut sebagai simbol persembahan. Beragam barang seperti makanan, buah-buahan, dupa, hingga kepala kerbau dihanyutkan ke perairan. Tak hanya itu, air laut yang telah tercampur doa dan sesaji kemudian dipercikkan ke perahu nelayan sebagai bentuk perlindungan spiritual.
Antara Pelestarian dan Tantangan Lingkungan
Tradisi ini dianggap sebagai warisan leluhur yang kaya nilai sosial dan spiritual. Namun, di balik keindahannya, muncul kekhawatiran akan dampak lingkungan. Beberapa bahan yang digunakan, seperti plastik atau replika perahu dari kayu dan bambu, berpotensi mencemari ekosistem laut.
Dua Sisi Pandangan
– Pendapat Warga: Bagi masyarakat setempat, Nadran bukanlah penyebab utama pencemaran, mengingat laut sudah tercemar oleh limbah industri dan sampah sehari-hari.
– Saran Ahli: Pakar lingkungan menyarankan penggunaan bahan organik yang lebih ramah lingkungan agar tradisi ini tetap lestari tanpa merusak alam.
Jalan Tengah untuk Masa Depan
Para ahli sepakat bahwa Nadran bisa terus dilestarikan asalkan diimbangi dengan edukasi dan penegakan norma sosial-budaya yang berwawasan lingkungan. Dengan demikian, tradisi ini tak hanya menjadi penghormatan pada leluhur, tetapi juga bentuk tanggung jawab terhadap kelestarian alam.
Artikel ini menawarkan perspektif seimbang antara budaya dan lingkungan, mengajak pembaca untuk melihat lebih dalam makna di balik ritual yang telah mengakar ini.







