
Pekan Menyusui Sedunia 2025: Dukungan untuk Ibu, Tantangan di Ruang Publik
Pekan Menyusui Sedunia 2025 menjadi momen untuk mengapresiasi dan mendorong pemberian ASI eksklusif. Namun, perayaan ini belum cukup menghapus stigma negatif yang masih melekat pada ibu menyusui, khususnya saat mereka memberikan ASI di tempat umum. Faktanya, satu dari tiga orang di Indonesia ternyata tidak setuju dengan praktik menyusui di ruang publik.
Menurut Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, peneliti utama sekaligus pendiri Health Collaborative Center (HCC), menyusui adalah perilaku alami manusia, sama halnya dengan makan dan minum. “Menyusui itu bagian dari naluri manusia. Seperti orang bisa makan dan minum di mana saja, seharusnya menyusui juga bisa dilakukan di mana pun,” ujarnya dalam acara di Restoran Beautika, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (8/8/2025).
Menyusui di Ruang Publik: Hak atau Aib?
Menyusui Sama Pentingnya dengan Memberi Makan
Bayi belum mampu mencerna makanan padat hingga usia enam bulan, sehingga ASI menjadi satu-satunya sumber nutrisi utama. Bahkan setelah memasuki fase MPASI, pemberian ASI tetap dianjurkan hingga anak berusia dua tahun. Meski ASI bisa diberikan melalui botol, menyusui langsung (direct breastfeeding) memiliki manfaat lebih, termasuk memperkuat ikatan emosional antara ibu dan anak.
“Menyusui itu seperti makan. Kalau orang bisa makan di restoran atau tempat umum tanpa masalah, seharusnya menyusui juga bisa dilakukan di mana saja karena ini perilaku alami,” tegas Ray.
Peran Lingkungan dalam Mengingatkan Ibu untuk Menyusui
Jika menyusui dianggap sebagai hal yang wajar, masyarakat tidak akan ragu menanyakan apakah seorang ibu sudah menyusui anaknya atau belum. Seringkali, ibu baru menyusui saat anak mulai rewel, padahal rewel adalah tanda bahwa si kecil sudah sangat lapar.
“Kalau menyusui dianggap alami, pertanyaan seperti ‘Sudah makan belum?’ bisa disamakan dengan ‘Sudah menyusui belum?’,” jelas Ray.
Fasilitas yang Minim, Dilema Ibu Menyusui
Meski diperbolehkan menyusui di ruang publik, kenyataannya tidak semua tempat menyediakan ruang laktasi. Bunga Pelangi, MKM, peneliti HCC, menyatakan bahwa banyak ibu yang kebingungan saat harus menyusui di mal atau restoran karena ketiadaan ruang khusus.
“Anak yang ingin menyusu tidak bisa menunggu. Ibu harus segera memberikannya ASI, tapi seringkali tidak ada ruang laktasi yang memadai,” ujar Bunga.
Anak Lapar Tak Bisa Ditunda
Mencari tempat yang “tepat” untuk menyusui justru bisa memperburuk situasi ketika anak sudah rewel karena lapar. Ruang laktasi yang tersedia pun terkadang tidak nyaman, misalnya karena pengap atau bau.
“Tidak efektif menenangkan anak jika harus mencari tempat dulu. Karena itu, menyusui di mana saja dan kapan saja seharusnya menjadi hak setiap ibu,” tegas Bunga.
Sayangnya, Ray menambahkan, sebagian besar masyarakat Indonesia masih merasa tidak nyaman melihat ibu menyusui di tempat umum.
Survei Ungkap Penolakan Terhadap Ibu Menyusui di Tempat Umum
HCC melakukan studi berjudul “Persepsi dan Dukungan pada Ibu Menyusui di Tempat Umum” pada 4-5 Agustus 2025. Survei melibatkan 731 responden dengan komposisi 84% perempuan dan 16% laki-laki. Sebanyak 67% berusia di atas 30 tahun, 89% sudah menikah, dan 60% berpendidikan di bawah SMA/sederajat.
Responden diminta menanggapi skenario ibu menyusui di berbagai lokasi, seperti transportasi umum, taman, kafe, dan tempat makan. Hasilnya:
– 1 dari 3 orang Indonesia memiliki pandangan negatif terhadap ibu menyusui di tempat umum.
– 30% merasa tidak nyaman, dan 29,7% gelisah melihat ibu menyusui di ruang publik.
– 50% sangat tidak setuju jika ibu menyusui tanpa penutup.
– 29% berpendapat ibu hanya boleh menyusui di ruang laktasi.
– 34,6% menolak ibu menyusui di taman, 33,8% di transportasi umum, dan 32,8% di kafe.
Temuan ini menunjukkan bahwa meski ASI adalah hak anak, dukungan untuk ibu menyusui di ruang publik masih perlu ditingkatkan.